Program Transmigrasi : Apakah Pemerataan Penduduk di Indonesia Sudah Adil ?

Bulan November 2024, setelah pelantikan presiden RI dilaksanakan, di Media Sosial telah ramai polemik yang sedang hangat dengan hashtag #Papuabukantanahkosong. Wacana Transmigrasi kini tengah gencar berkumandang dengan salah satu daerah tujuan program transmigrasi itu adalah pulau papua.

Saya akan ikut beropini dari sudut saya sebagai pendatang yang telah mendiami papua selama 5 Tahun. Opini ini saya tulis tanpa bermaksud menyinggung pihak manapun, hanya sekedar mengutarakan pendapat dan membahas dari sudut pandang saya dan artikel yang saya baca dan keadaan yang saya lihat di papua sendiri khususnya di kabupaten Merauke.

Penduduk Indonesia Makin Meningkat

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yakni 282 Juta Penduduk dengan persentase 55,93% yang tinggal dimPulau Jawa diikuti Sumatera (21,81%) dan Sulawesi yakni sekitar 7,36 %. (Baca disini) . Penduduk Indonesia tampak sangat berpusat di Pulau Jawa shingga menimbulkan masalah kependudukn yakni :

Kemacetan dan polusi

Meningkatnya penduduk menimbulan pertambahan sarana transportasi sehingga menyebabkan polusi belum lagi sampah yang dihasilkan oleh keluarga menyebabkan pencemaran lingkungan yang besar

Kesenjangan ekonomi

Banyak anak yang lahir dari keluarga miskin membuat anak yang dihasilkan ikut terjebak dalam lingkaran kemiskinan, mulai dari gizi yang buruk, lingkungan yang tak sehat, serta pendidikan tak layak membuat angka kemiskinan makin membesar sementara orang ekonomi mampu sadar akan dirinya dan memilih ber-KB agar  mencukupi kebutuhan anak secara maksimal sehingga anak dari orang mampu ini sedikit dan menimbulkan kesenjangan yang sangat tinggi. Orang mampu sedikit dan orang berekonomi rendah makin banyak.

Pemukiman kumuh dengan sanitasi yang buruk

Dari 63.256 kelurahan di Indonesia yang berlokasi di tepi sungai, 26 % diantaranya memiliki permukiman di bantaran sungai. ( Baca disini) . Orang-orang yang beranak pinak banyak lama kelamaan membutuhkan tempat tinggal dan memilih membangun dikawasan2 yang tak layak, belum lagi hasil urbanisasi dari pedesaan untuk mencari penghidupan, mereka semua datang ke bantaran sungai dan berdiam disana karena mereka ingin tempat tinggal dikota besar dengan murah dan akses akan air mudah dijangkau walau pembuangan limbah rumah tangga maupun limbah manusia termasuk urine dan feces bercampur jadi satu didalamnya dan membuat masalah kesehatan untuk lingkungan disana.

Tekanan Infrastruktur

Kepadatan penduduk membuat beban pemerintah makin berat akan kebutuhan infratruktur yamg memadai seperti rumah sakit, sekolah, pemukiman, jalan yang harus ditambah. Tentu saja pembangunan ini membutuhkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat besar.

Melihat urgensi dampak dari pemusatan penduduk di Pulau Jawa tentunya pemerintah ingin mencari solusi yang segera dan menguntungkan bagi seluruh masyarakat. Salah satunya adalah program transmigrasi. Akan tetapi apakah program ini betul-betul adil ? Sebelum kita bisa menilai mari melihat meninjaunya dari masa lampau saat program transmigrasi dari Pulau Jawa pertamakali dilaksanakan.

Program Transmigrasi di Masa lalu

Program transmigrasi rupanya telah ada dari zaman belanda sejak awal ke-19 utuk mengurangi kepadatan di Pulau Jawa dan memasok tenaga kerja di perkebunan sumatera. Lalu dijalankan kembai setelah Indonesia merdeka untuk menangani kelangkaan pangan. Yang kemudian program transmigrasi itu kembali marak di tahun 1979 sampai tahun 1984 dengan total penduduk yang bertransmigrasi yakni 2,5 juta jiwa (535 ribu keluarga). (Baca Disini)

Yang menjadi pertanyaan, apakah masalah kependudukan itu selesai setelah program transmigrasi besar-besaran itu ? Rupanya tidak, Pulau jawa tetap penuh dan daerah lain walaupun memang berkembang karena pendatang tapi terjadi kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal seperti yang saya lihat di Papua.  Ternyata banyak konflik yang ditimbulkan dari program transmigrasi tersebut.

Konflik yang Ditimbulkan dari Hasil Transmigrasi

Ekonomi

Orang yang datang bertransmigrasi sebagian dari mereka tak memiliki keterampilan sehingga terkesan transfer orang miskin saja sehingga masalah kependudukan di Jawa cepat selesai. Orang yang baru datangpun kembali membawa masalah baru yaitu penularan kemiskinan dan perubahan mental di dalam masyarakat itu. Karena tak ada keterampilan, maka sebagian masyarakat pendatang ini menebang kayu, menambang pasir dan berburu hewan. Seperti yang terjadi di merauke Papua, Pantai Ndalir di Kabupaten Merauke makin parah kerusakannya karena penambangan pasir. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang membeli sumber daya alam dengan harga murah dari masyarakat lokal dan menjualnya kembali. Tindakan ini merusak ekosistem yang ada didalam kawasan tersebut.

Melihat hal ini pola pikir masyarakat lokal makin berubah. Tadinya makan, minum, tempat tinggal cukup seadanya dan tidak mengandalkan hasil hutan berlebihan malah mereka sekarang mengeksploitasi secara besar-besaran akibat kebutuhan pendatang yang besar. Itu semua karena, mereka sudah terpengaruh kekuatan uang, budaya minuman keras, dan hedonisme lain yang sebelumnya mereka tak tahu. Apalagi dengan pendidikan rendah, membuat masyarakat menerima keadaan itu padahal hutan mereka yang merupakan sumber mata pencaharian mereka telah dirusak habis-habisan.

Lingkungan

Adanya Program transmigrasi ini kemungkinan besar akan merusak lingkungan. Penduduk yang semakin berkembang dan beranak pinak akan membuat ancaman deforestasi besar-besaran, bukan hanya dari segi pembangunan tempat tinggal tapi mereka menjual sumber daya alam secara besar-besaran tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi.

Contoh Kasus Perubahan Pola Pengambilan Sumber Daya Alam

Di Merauke saya pernah bertemu dengan seorang peternak sapi yang bukan warga asli papua. dia memutuskan berhenti memelihara sapi dan lebih memilih menstrum ikan dengan listrik. Menurut beliau, memelihara sapi butuh perawatan mahal sehingga lebih mudah mengambil dari yang sudah ada. Teknik itu juga yang diajarkan ke masyarakat asli sehingga terjadi perubahan budaya dari tradisional ke modern yang lebih merusak. Menstrum bukan hanya mematikan ikan target tapi pakan ikan, telur dan anakannya sehingga akan merusak ekosistem perairan.

Kesenjangan Sosial yang besar

Masyarakat pendatang berjaya maju secara ekonomi ini lama kelamaan menyebabkan suatu kesenjangan sosial. Mereka makin kaya, dan masyarakat lokal makin miskin. Ksesenjangan sosial ini akan menimbukan konflik kecemburuan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang dan kadang berakhir dengan kekerasan pada pendatang. Baca disini .

Terkesan masyarakat pendatang jauh lebih berkerja keras untuk meraih kesuksesan tapi ada satu hal yang menyebabkan hal ini. Transfer teknologi dan ilmu pengetahuan yang tak imbang diantara pendatang dan masyarakat lokal. Baca disini

Hasil Fatamorgana dan Kenikmatan Semu

Masyarakat lokal yang juga merasa nyaman  tidak tertarik untuk bekerja keras karena merasa memiliki tanah disana. Butuh uang, akhirnya mencari jalan singkat menjual tanah. Semua itu karena mereka belum memiliki mindset yang bagus akibat pendidikan yang kurang. Sementara pendatang sukses dengan eksploitasi besar-besaran tersebut padahal tanah itu dahulunya adalah sumber mata pencaharian masyarakat lokal. Masyarakt lokal kehilangan tanah dan makin tergeser keberadaannya. Budaya dan adat merekapun pelan-pelan berubah. Bingung mendapat uang, akhirnya ikut habis babat hutan yang harusnya dijaga.

Hutan habis, hewan makin punah, tapi pendudukpun semakin banyak. Mulailah masuk budaya luar yang jelek untuk mencari uang karena sumber daya habis. Di merauke sendiri budaya pendatang yang saya amati makin marak adalah  parkir dan memulung. Pemulung itu biasa mengambil barang depan rumah tapi tak semua barang bekas, barang masih terpakaipun diambil. Jatuhnya sama saja dengan mencuri. Penadahnyapun adalah orang dari luar papua. Sehingga yang terjadi disini adalah transfer budaya kemiskinan dari orang yang terbuang dan tak terpakai didaerah asalnya. Bukan penduduk berkualitas.

Saya melihat sendiri bagaimana pendatang mengajari anak asli papua meminta parkir, saya betul-betul miris melihat mental kemiskinan diajarkan pada anak yang masih kecil dan polos

Konflik-konflik diatas merupakan hal yang saya amati di Papua. Menurut saya sebelum transmigrasi dilaksanakan, hal yang bisa dipakai untuk meminimalisir konflik adalah pemberian pendidikan yang mumpuni kepada masyrakat lokal serta orang yang bertransmigrasi tersebut harusnya bukan orang kekurangan  yang sekedar mengais rejeki saja di Papua. Jangan sampai mindset miskin ditularkan ke masyarakat lokal yang memang pengetahuannya belum mumpuni.

Kebutuhan Lumbung Pangan

Saya mengerti program transmigrasi ini sangat darurat untuk dilaksanakan. Apalagi terdapat program pemerintah untuk mencukupkan sumber pangan di Indonesia tanpa impor yakni Food Estate dengan seiring bertambahnya penduduk dan membutuhkan lumbung pangan yang besar untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Sungguh sangat dilematis, masyarakat lokal ingin melindungi tanahnya tapi disatu sisi pemerintah membutuhakan sumber pangan dari program Food Estate. Masyarakat lokal kemungkinan besar kurang memahami ilmu pertanian sehinga akan sulit mengeksekusi program itu. Masyarakat lokal hidup dengan berburu dan mengambil langsung dari alam tanpa mengerti atau melakukan proses bercocok tanam.

Mungkin program transmigrasi juga salah satu strategi pemerintah untuk membuat lumbung pangan tetsebut dengan memberikan 2 Ha ke para transmigran. Agar mereka yang mengelola lahan pertanian dikarenakan masyarakat lokal selama ini tidak memahami cara bertani dan transmigran , karena berada di tanah orang, akan cenderung lebih ulet membangun lahan pertanian tersebut. Akan tetapi bisakah food estate itu berhasil ?

Sejarah Food Estate di Era SBY

Food Estate adalah Wacana yang Sudah Lama

Ternyata bukan hanya saat ini Food Estate bergaung di era pemerintahan Presiden RI yang baru , Pak Prabowo. Sebelumnya Food estate telah dilaksanakan di Merauke, Papua. Program itu bernama MIFFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang merupakan program SBY pada tahun 2010 yang dinyatakan sebagai proyek gagal. MIFEE awalnya ditujukan untuk membangun 1,2 juta ha lumbung pangan dengan komoditi padi, jagung, kedelai dan tebu. (Baca Disini)

Masalah yang Timbul akibat Program Food Estate

Akan tetapi, program ini malah melahirkan lebih banyak persoalan baru dibandingkan dengan manfaat untuk masyarakat adat dan orang asli Papua. Menurut Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif WALHI Papua, Pemerintah sepertinya tak jera dan mau mengulangi kesalahan yang sama dengan membuat program Food Estate di Papua setelah sebelumnya MIFEE gagal diimplementasikan. Program ini dianggap mengabaikan hak masyarakat adat dan OAP akan wilayahnya salah satunya adalah tanaman pakan khas papua yakni sagu malah dikesampingkan. Selain itu pemerintah malah membuat ruang pada korposasi untuk merusak lingkungan setempat. Terdapat 36 perusahaan yang menggarap program Food Estate/ MIFEE sebelumnya. (Baca disini)

Belajar dari Program Food Estate Sebelumnya

Berkaca pada program kegagalan Food Estate di pemerintahan sebelumnya, maka perlu diadakan evaluasi yang mendalam lagi dan jangan terlalu terburu-buru dalam mengimplemantasikannya. Karena trauma masyarakat asli pasti masih ada dan jika gagal lagi akan menimbulkan tidak percayaan pada pemerintah dan menimbulkan konflik yang lebih besar.

Ekspetasi Masyarakat terhadap Program Transmigrasi

Masyarakat di Papua tentunya sebelumnya memiliki ekspetasi yang tinggi terhadap program Transmigrasi maupun Food Estate. Yang dibutuhkan dari program tersebut antara lain pertukaran teknologi dan ilmu pengetahuan untuk kualitas hidup masyarakat asli dan transmigran yang lebih baik.

Keahlian, tingkat pendidikan dan budaya pendatang sangat menentukan kemajuan daerah tujuan transmigrasi selanjutnya. Jangan sampai pendatang yang masuk justru mengajarkan budaya tak baik pada masyarakat asli. Contoh yang saya lihat terjadi di Merauke adalah penggunaan senapan angin oleh masyarakat lokal yang sebelumnya berburu dengan busur. Karena pengaruh dari pendatang, dari yang mengambil secukupnya menjadi ekploitasi besar-besaran membuat satwa makin langka. Dahulu Rusa dan kangguru gampang ditemui di Merauke, sekarang perlahan-lahan makin langka keberadaannya seiring pertumbuhan penduduk yang pesat.

Pertimbangan dan Saran dalam Program Transmigrasi

Melihat dari berbagai sumber artikel yang saya tulis, kita bisa memahami transmigrasi tujuannya baik tapi punya tantangan tersendiri apalagi selama ini ternyata banyak konflik yang terjadi akibat transmigrasi dan terkesan tidak adil bagi masyarakat lokal. Yang jadi pertanyaaan, apakah transmigrasi tersebut benar-benar efektif ?

Transmigrasi tidak mampu Menyelesaikan Masalah Kependudukan

Saya menyadari satu hal yang penting, walau program transmigrasi dari jawa telah dilakukan sejak abad ke-19 dilanjutkan pada tahun 1980 untuk mengurangi sentralisasi penduduk di Pulau Jawa, ternyata Pulau Jawa tetap saja penuh. Malah jumlah penduduk makin bertambah banyak didaerah lain karena keturunan transmigran itu juga makin banyak. Hal ini dibuktikan oleh sensus 2010 yang menunjukkan 40 % suku di Indonesia dalah suku Jawa. Baca disini

Transmigrasi membuat bertambahnya penduduk makin signifikan di kota tujuan  membuat masalah kependudukan yakni kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan lokal serta kerusakan lingkungan yang besar. Pada akhirnya transmigrasi bukan kunci menyelesaikan masalah kependudukan. Yang perlu ditekankan menurut saya adalah sikap tahu diri dan berkb saja. Bagi yang tak punya biaya membesarkan anak atau tak punya tempat tinggal dan ekonomi rendah, mari tahu diri. Jangan sampai membuat bencana kependudukan dan daerah lain yang harus menanggungnya.

Saran sebelum Kebijakan Program Transmigrasi Dilaksanakan

  • Pendatang / Transmigran harus memiliki ilmu pengetahuan, teknologi yang mumpuni yang bisa diterapkam membangun daerah tujuan transmigrasi. Transmigran yang dibutuhkan bukan hanya sekedar kelebihan penduduk  yang mau digeser dari daerah asalnya untuk menurunkan kemiskinan akan tetapi tenaga profesional seperti Guru, Dokter dan Petani yang profesional
  • Perlunya pendidikan dan membentuk pola pikir pada masyarakat lokal. Sebelum dilaksanakan program transmigrasi, agar masyarakat lokal tidak mengalami kesenjangan sosial yang terlalu parah, maka pendidikan dan kualitas masyarakat lokal harus ditingkatkan terlebih dahulu. Selama ini masyarakat lokal hidup dengan berburu dan meramu. Pemerintah harus memikirkan alternatif mata pencaharian atau meningkatkan kualitas hidup mereka untuk meminimalisir konflik yang terjadi dan bisa mensukseskan transmigrasi yang tengah diwacanakan sekarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RSS
Follow by Email
Verified by MonsterInsights